Kamis, 12 Maret 2009

Riba, dari Aristoteles sampai AL-Ghazali, dari Islam sampai yahudi


Oleh Erik Estrada

Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Riba dalam Islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haramm. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesiaa), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.

Riba dalam agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Imamat 35:7 menyatakan:“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."

Riba di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengibaratkan uang bagaikan cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Begitu pun uang. Uang tidak punya harga namun dapat merefleksikan semua harga. Uang bukan komoditi dan oleh karenanya tidak dapat diperjualbelikan dengan harga tertentu. Ghazali juga mengatakan bahwa memperjualbelikan uang ibarat memenjarakan fungsi uang. Jika banyak uang yang diperjualbelikan niscaya hanya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang. Dan bila semua uang telah digunakan untuk memperjualbelikan uang, niscaya tidak akan ada lagi uang yang berfungsi sebagai uang.

Dalam buku La politica, Aristoteles mengatakan :" terdapat dua jenis pencarian kekayaan, yang pertama sebagai bagian dari manajemen rumah tangga dan yang kedua adalah perdagangan secara eceran. Yang pertama diperlukan dan terhormat, sedangkan yang terdapat dalam pertukaran dikritik secara terbuka karena tidak alami dan merupakan cara manusia mendapatkan sesuatu dari satu dan yang lain. Jenis yang paling dibenci dengan alasan yang sangat kuat adalah lintah darat yang mendapatkan keuntungan dari uang itu sendiri, budak dari objek alami uang tersebut karena uang dimaksudkan untuk digunakan dalam pertukaran, bukan untuk meningkatkan bunga. Istilah bunga ini, yang berarti lahirnya uang dari uang, diterapkan untuk mengembangbiakkan uang karena anak menyerupai orangtua. Oleh sebab itu cara mendapatkan kekayaan seperti itu tidak alami.

Dari hal diatas sangat jelas sekali bahwa praktek riba ini sangat dilarang, kalaupun ada pemikiran untuk tetap mempertahankannya,disisi pemakai adalah semata keinginan untuk tetap mendapatkan keuntungan disaat uang ini tidak berputar dalam tabungan di Bank. Seperti kata Aristoteles, mengembangbiakan uang layaknya anak yang menyerupai orangtua.

Selasa, 24 Februari 2009

Islam dan demokrasi


Oleh DR. Mustafa Muhammad Thahhan

Ada sebagian kelompok Islam yang berpandangan ekstrem terhadap demokrasi. Menurut mereka, dalam demokrasi, hukum bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sejak kapankah rakyat menjadi sumber hukum?

Tidak pernah sedikitpun dalam diri kami untuk mengubah agama Allah ini. Kami pun tidak ingin menunggangi nash-nash yang ada agar sejalan dengan pemikiran Barat atau Timur. Kami juga tidak mau seperti kebanyakan yang hanya ikut-ikutan mengatakan tentang demokrasi Islam, liberalisme Islam, atau sosialisme Islam. Kami hanya ingin melihat permasalahan ini dengan jernih dan realistis. Dunia saat ini dikendalikan oleh dua sistem yang saling bertolak belakang: demokrasi dan diktator. Para pengusung paham demokrasi mengklaim bahwa paham merekalah yang telah mengangkat harkat dan martabat manusia; para penguasa yang bersikap diktator dianggap tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Lantas , di manakah posisi kita dari keduanya?

Bagaimanakah kita membahasakan secara jelas tentang Islam dengan bahasa kontemporer?
Bolehkah kita memandang lebih jauh tentang demokrasi ini dengan pemahaman kita sendiri agar sejalan dengan syariat? Kami menganggap bahwa demokrasi hanya sebagai pintu masuk untuk mengakhiri kezhaliman, kesewenang-wenangan, dan sikap militerisme para penguasa.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengetahui terlebih dahulu karateristik negara dalam Islam. Diantaranya adalah
1. kedaulatan bagi rakyat;
2. masyarakat memiliki beban dan tanggung jawab;
3. kebebasan adalah hak semua orang;
4. persamaan terhadap hal-hal yang prinsip bagi setiap orang;
5. agama lain bebas menjalankan kewajiban syariatnya;
6. kezhaliman adalah haram dan memeranginya adalah wajib;
7. hukum di atas segalanya.

Adapun demokrasi sebagai sebuah sistem, berdiri diatas hal-hal berikut
1. mengayomi hak asasi manusia;
2. memberikan kebebasan;
3. menghargai keragaman berpolitik;
4. memilih anggota parlemen;
5. mengakui sistem multi partai;
6. menerima keberadaan oposisi;
7. memberikan hak berpolitik kepada wanita;
8. menghormati agama dan suku minoritas;
9. mengakui adanya perputaran kekuasaan;
10. membangun kehidupan yang damai antara negara, jamaah, dan partai lainnya.

Riset seperti apa pun tentang demokrasi, pasti hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan pendapat Al Faqih Dr. Yusuf Al Qaradhawi. Fahmi Huwaidi dalam bukunya, Islam dan demokrasi mengatakan." Sangat aneh jika ada orang yang mengatakan bahwa demokrasi termasuk kemunkaran yang diharamkan dan tindakan kufur. Padahal, mereka sendiri tidak mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang demokrasi. Apakah demokrasi yang diserukan masyarkat dunia, atau yang dibela oleh beberapa kelompok di barat dan di timur, atau apa yang diperoleh oleh rakyat setelah melakukan perlawanan panjang terhadap penguasa zhalim yang menyebabkan pertumpahan darah dan jatuhnya ribuan jiwa korban, sama dengan demokrasi yang diserukan oleh masyarakat Eropa Timur dan negara lainnya? Para aktivis Islam memandang, demokrasi bisa menjadi sarana yang dapat kita terima karena demokrasi dapat mencegah tangan besi para penguasa dan mengontrol hegemoni politik. Keduanya pernah membuat umat Islam menderita. Apakah demokrasi yang seperti ini termasuk munkar dan kufur sebagaimana yang dituduhkan orang-orang yang berpandangan dangkal dan tergesa-gesa?